Artikel yang Berkaitan :

Thursday, August 19, 2010

Sri Nurhatika, Penemu Kompor Limbah Tela, Alternatif pengganti Minyak Tanah

Indonesia memang memiliki ratusan juta barel cadangan minyak bumi. Tetapi, sejak SD pun kita sudah diajarkan bahwa minyak bumi adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui dan suatu ketika akan habis. Itu sebabnya, mencari sumber energi lain yang mudah diperbaui menjadi kewajiban manusia.
“Apa tidak ada alternatif selain minyak tanah untuk mengisi kompor? Itulah pertanyaan Giri Suseno, mantan menteri perhubungan di era Presiden BJ Habibie, beberapa tahun lalu. Sebuah pertanyaan biasa, tapi  terus terngiang dan melecut Sri Nurhatika untuk mencari jawaban.

Dosen jurusan biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) ini lalu tekun melakukan riset. Tujuannya cuma satu, mencari alternatif pengganti minyak tanah. Pilihannya jatuh pada ketela raksasa atau yang  dalam masyarakat Jawa lazim disebut sebagai telo genderuwo sebagai bahan riset bio ethanol-nya.

“Apa pun bisa digunakan (untuk menghasilkan bio ethanol) asal mengandung karbohidrat dan glukosa. Akhirnya saya pilih ketela pohon limbah dari pabrik tepung tapioka,” ujarnya.

Bio ethanol merupakan ethil alkohol yang sangat efektif jika digunakan sebagai bahan bakar. Kelebihan paling mencolok adalah nilai oktannya yang tinggi. Bio Ethanol  memiliki angka research oktan di kisaran 108,6 dan motor oktan 89,7. Asal tahu saja, nilai oktan pada premium yang dijual bebas berada pada level 88. Nilai oktan yang tinggi tersebut tentunya akan berpengaruh pada tingkat efisiensi ketika digunakan sebagai bahan bakar. Satu liter bio ethanol setidaknya setara dengan sembilan liter minyak tanah.

Proses pembuatannya pun cukup sederhana. Ketela atau bahan-bahan lain dengan kandungan karbohidrat dan glukosa tinggi dihaluskan, lalu direbus. Kemudian, ditambahkan enzim amilase dan diberi ragi. “Untuk sementara ini, ragi tape biasa pun bisa digunakan. Tapi kami sedang mengkaji lebih lanjut ragi khusus untuk ethanol,” lanjutnya.
Setelah didiamkan sekitar tiga hingga empat hari untuk proses fermentasi, jadilah bio ethanol. Untuk penyempurnaannya, bio etanol tadi dicampur batu kapur. Setelah jadi, tinggal diukur kadar ethanolnya menggunakan alkohol meter.

Inilah alasan perempuan yang akrab disapa Ika ini memilih bio ethanol sebagai jawaban dari pertanyaan Giri Suseno untuk menggantikan minyak tanah sebagai bahan bakar kompor yang selama ini digunakan sebelum ada konversi ke gas elpiji. “Ini kompor yang bahan bakarnya bisa dibuat sendiri oleh masyarakat,” katanya.

Desain kompor ini adalah perpaduan kompor minyak tanah dengan gas. Menggunakan burner mirip kompor gas, tetapi memiliki dasar yang menampung bahan bakar cair seperti kompor minyak tanah. Risetnya selama dua tahun ini sempat menemui beberapa kendala, seperti bahan baku hingga uji coba keamanannya.

“Waktu riset ya sempat ada yang mbleduk juga, tapi akhirnya bisa jadi yang aman dan siap digunakan,” ujarnya.

Untuk bahan baku kompor, Ika awalnya menggunakan seng. Karena seng mudah berkarat, dia ganti menggunakan aluminium. “Kompor ini sudah kami uji cobakan dan sedang disosialisasikan ke beberapa daerah di Indonesia, khususnya wilayah Jawa. Selain itu kompor berbahan bakar ethanol ini sudah diujicobakan ke 4.000 titik di Jakarta. Hasilnya cukup memuaskan, mayoritas pengguna merasa lebih aman dan bisa memasak menggunakan kompor berbahan bakar bio ethanol. Kami ajari cara bikin bahan bakarnya sekalian,” kata Ika.

Kompor bio ethanol Ika juga disosialisasiakn kepada pengrajin batik di seluruh Pekalongan yang sedang kelimpungan terkait kenaikan biaya produksi akibat naiknya harga bahan baku dan kelangkaan minyak tanah. Krisis ini membuat 60 persen dari 270 ribu penduduk yang bekerja di sektor batik terancam kehilangan pekerjaan akibat terus menurunnya penjualan batik, baik untuk pasaran ekspor maupun lokal.

Untuk diketahui, bagi pengrajin batik tulis atau cap, minyak tanah merupakan kebutuhan vital karena digunakan untuk memanaskan malam yang kemudian dipakai untuk merentang kain batik. Biasanya dalam sehari pengrajin butuh 6 liter minyak tanah, tetapi dengan bioetanol hanya membutuhkan 1 liter saja.

“Kalau pakai kompor elpiji terlalu panas,” katanya.

Di Jawa Timur, Ika bersama timnya telah mengenalkan kegiatan serupa kepada pembatik di Sidoarjo dan masyarakat Malang, Gresik, Pasuruan, serta Mojokerto. Di beberapa kota, konsumsi minyak tanah mulai dikurangi untuk dikonversikan ke bahan bakar gas. Namun jangan sampai masyarakat bergantung kepada kedua bahan bakar tersebut karena keduanya merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.

Selain memberikan alternatif penggunaan kompor tersebut, Ika juga mengajar masyarakat cara pembuatan bio ethanol. Ini tak lain sebagai wujud kepedulianya kepada masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah dalam melakukan penghematan.

Kompor buatan Ika akhirnya diproduksi bersama Koperasi Manunggal Sejahtera. Meski pun demikian, dia juga memberikan pelatihan ke beberapa pengrajin kompor minyak tanah sehingga hasil produksi mereka yang tidak laku akibat program konversi dapat dimodifikasi menjadi kompor bio ethanol.

Meskipun memiliki kesempatan meraup rupiah dari hasil risetnya, Ika tidak berencana mematenkan temuannya tersebut. Dirinya ingin memberikan hasil risetnya tersebut untuk masyarakat sebagai bagian dari pengabdian.

Kini, Ika melangkah lebih jauh dengan meneliti bahan pembuatan bio ethanol dari sampah organik yang mengandung karbohidrat.

“Kalau saya patenkan, para pengrajin yang akan buat harus bayar royalti, kasihan mereka,” katanya.
sumber : vivanews.com



Related posts :


0 komentar:


Post a Comment

 

Followers