Artikel yang Berkaitan :

Wednesday, August 11, 2010

Kenapa Pemerintah-BI Tak Suka Rupiah Kuat

Rabu sore, 11 Agustus 2010, nilai tukar rupiah masih bertahan di bawah 9.000 per dolar AS. Hampir sepekan terakhir, pergerakannya cukup fluktuatif.

Awal pekan ini, berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah sempat menyentuh 8.932 per dolar AS. Level tersebut adalah posisi terkuat rupiah pekan ini sebelum melemah pada Selasa dan Rabu.

Pada Selasa 10 Agustus 2010, rupiah menggapai 8.953 per dolar AS, sebelum terbenam menjadi 8.966 per dolar AS hingga Rabu sore.

Gerak rupiah yang seolah dikemas di bawah 9.000 dolar AS itu ternyata tak membuat petinggi ekonomi dan moneter senang. Hampir senada, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tidak terlalu suka dengan penguatan rupiah yang cukup tajam.

Pemerintah dan BI justru menginginkan rupiah terkendali di level tertentu, sehingga posisi ekspor Indonesia tetap kompetitif dibanding negara lain.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, jika rupiah terlalu menguat, eksportir akan dirugikan. Daya saing produk ekspor Indonesia bisa kalah dengan negara lain.

"Bila barang impor sudah murah, harga (barang di dalam negeri) bisa dianggap terlalu tinggi," kata Agus di kantor Menko Perekonomian, Jakarta, 11 Agustus 2010.

Agus pun menyatakan keinginannya agar rupiah berada di kisaran 9.000 per dolar AS hingga akhir tahun ini. Penguatan rupiah yang terjadi saat ini karena ada kepercayaan investor pada pasar Indonesia.

Senada dengan pemerintah, BI pun akan terus menjaga rupiah agar stabil pada kisaran tertentu dan dianggap menguntungkan semua pihak. "BI tidak suka melihat rupiah terlalu menguat. Karena itu untuk menjaga daya saing," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah.

Bahkan, menurut Halim, Indonesia sebenarnya masuk fase dengan ekspor yang membaik. Namun, fase membaiknya ekspor itu tidak dinikmati kalangan eksportir. Porsi ekspor tahun ini sekitar 25 persen justru belum tercapai separuhnya.

"Rupiah di level 9.000 per dolar AS cukup membahayakan industri," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Aneka Keramik, Achmad Wijaya, ketika dihubungi VIVAnews.

Penguatan rupiah, dia melanjutkan, dapat membuat daya beli terhadap produk domestik turun, karena kalah bersaing dengan produk impor. "Kalau rupiah terlalu dijaga, pemerintah justru tidak mendorong ekspor," ujarnya.

Apalagi, pemerintah berencana menaikkan porsi ekspor menjadi 30 persen.
"Rupiah yang kuat akan menyulitkan kami di industri keramik, tekstil, dan juga bahan bangunan," kata dia. 

Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor atas dasar harga berlaku naik dari Rp362,2 triliun pada triwulan I-2010 menjadi Rp374 triliun pada triwulan II-2010. Peningkatan ekspor tersebut terjadi pada komoditas barang dan jasa.

Nilai ekspor pada triwulan II-2010 berdasarkan harga konstan 2000 meningkat sebesar 2,7 persen dibanding triwulan I-2010 (qtq), yaitu dari Rp248,8 triliun menjadi Rp255,5 triliun.

Apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama pada 2009 (yoy), nilai ekspor atas dasar harga konstan 2000 triwulan II-2010 meningkat sebesar 14,6 persen.

Demikian juga pertumbuhan ekspor secara kumulatif (ctc) meningkat sebesar 17,2 persen. Kontribusi ekspor pada triwulan II-2010 mencapai 23,8 persen.
***
Keinginan eksportir tersebut sebenarnya sudah disikapi BI. Otoritas moneter terus memantau agar rupiah tidak merugikan eksportir. Namun, menurut Halim, karena menganut sistem mengambang bebas, nilai tukar rupiah cenderung dinamis.

Meski demikian, tekanan terhadap ekspor itu diyakini Menko Perekonomian Hatta Rajasa hanya sementara. Karena, penguatan rupiah juga menunjukkan fundamental Indonesia yang makin kuat.

Eksportir sebenarnya berharap nilai tukar rupiah dapat bergerak di kisaran Rp10.000 hingga 10.500 per dolar AS. “Setelah lebaran, nilai tukar rupiah semestinya dilepas saja. Tidak perlu dikurung (intervensi) terus,” ujar Achmad.
Kepala Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Gunawan, mengatakan nilai tukar riil rupiah yang menguat di antaranya bisa disebabkan nilai nominal yang menguat dibanding mata uang negara mitra dagang.
BI sebenarnya juga sudah berusaha menahan laju penguatan rupiah itu. Meski diakui, laju rupiah terkadang tidak bisa dihindarkan. "Apalagi, hampir seluruh negara berkembang mengalami lonjakan masuknya dana-dana asing," tuturnya.
Untungnya, negara-negara tersebut, seperti Brasil, Korea, dan lainnya memiliki kontrol terhadap modal yang masuk (capital control), sedangkan Indonesia tidak. "BI kemudian hanya melakukan intervensi agar rupiah tidak terlalu kuat," ujarnya.
Menurut Anton, eksportir di industri manufaktur akan mengalami imbas cukup signifikan dari penguatan rupiah tersebut. Hal itu karena harga produk yang diekspor tereduksi dari penguatan rupiah terhadap mata uang negara mitra dagang.
Apalagi bila komponen bahan baku ekspor diperoleh dari dalam negeri, dibanding dari impor yang lebih murah karena penguatan rupiah.
Berdasarkan data transaksi di Bloomberg, Rabu pukul 16.00 WIB, nilai tukar rupiah bercokol di posisi 8.974 per dolar AS dari transaksi sesi pertama yang berada di level 8.972 per dolar AS.

Sedangkan berdasarkan data kurs tengah BI, rupiah sore ini berakhir di posisi 8.966 per dolar AS. Pada perdagangan Selasa 10 Agustus 2010, mata uang lokal tersebut berakhir di level 8.953 per dolar AS.
sumber : Vivanews.com



Related posts :


0 komentar:


Post a Comment

 

Followers