Artikel yang Berkaitan :

Friday, August 6, 2010

Saatnya Memperbaharui Rupiah?

Saya senang saat membaca kolom Agus Firmansyah di Jakarta Post edisi 19 Mei 2008, yang menyatakan bahwa mungkin sekarang ini saat yang tepat untuk melakukan redenominasi rupiah. Menurut Agus, rupiah adalah salah satu mata uang yang paling rendah nilainya di seantero dunia. Uang kertas dengan nilai terendah yang beredar saat ini adalah Rp1.000, yang kira-kira sekarang ini hanya setara dengan 10 dolar AS. Uang logam, apalagi, sudah nyaris tak lagi digunakan. Satu rupiah saat ini hanya bernilai sekitar seperseratus sen dolar AS.

Gagasan dasar di balik penentuan nilai, atau daya beli, dari suatu unit mata uang adalah itu semestinya dapat bermanfaat atau memudahkan pengguna berkaitan dengan skala transaksi yang biasanya berlangsung secara tunai. Saat mata uang dikelola secara memprihatinkan dalam kurun waktu yang panjang, sebagaimana yang terjadi pada rupiah selama ini, daya beli dari mata uang itu akan merosot secara signifikan sedemikian rupa sehingga bahkan transaksi tunai dalam skala terkecil pun harus dilakukan dengan beberapa ratus unit mata uang.

Dengan kata lain, rupiah saat ini, seperti halnya dolar, sebetulnya masih terdiri dari 100 sen. Tapi saya bahkan tak lagi ingat pernah melihat koin digunakan dalam proses jual-beli dalam rupiah. Pelanggan Bank Indonesia (warga masyarakat pada umumnya, yang menggunakan mata uang rupiah untuk bertransaksi) di masa lampau telah menentukan pilihannya, dengan mereduksi permintaan mereka akan uang sen ke level nol. Dengan itu, maka mereka juga sebetulnya telah mereduksi permintaan akan koin rupiah yang memiliki denominasi rendah hampir ke level nol.

Sebagai editor sebuah jurnal tentang ekonomi Indonesia, saya kerap dibingungkan oleh kecenderungan banyak penulis yang mencatatkan nilai uang dalam rupiah secara terperinci sampai ke digit yang paling kecil, ketimbang membulatkannya dalam jutaan, miliaran, atau bahkan triliunan. Tidakkah terbayangkan betapa pembaca jurnal akan kecewa jika nilai uang itu ditulis ‘Rp24,2 triliun’ ketimbang nilai yang ‘sebenarnya’ seperti Rp24.165.782.534.956 (yang dalam banyak hal juga sering merupakan taksiran)?

Sebaliknya: akan jauh lebih mudah bagi mata, jika nilai uang itu hanya terdiri dari tiga atau empat digit ketimbang belasan digit atau bahkan lebih (dan tentu saja akan lebih banyak angka yang bisa dicatatkan di satu tabel jika mereka dibulatkan). Untuk alasan yang sama pula, akan sangat tidak nyaman jika harus melakukan transaksi bernilai rendah dalam bilangan nominal yang sangat besar.

Argumen untuk memperkenalkan ‘rupiah yang baru’ menurut saya cukup meyakinkan. (Rupiah yang sekarang juga sebetulnya, di suatu masa beberapa dekade yang lampau, adalah ‘rupiah baru’, yang diperkenalkan untuk menggantikan rupiah yang lama, yang pernah menjadi hampir tak bernilai gara-gara hiperinflasi di pertengahan tahun 1960-an.) Ringkasnya, sungguh tidak efisien jika kita harus menghitung dan bertransaksi dalam bilangan jutaan, jika hal itu sebetulnya bisa dengan mudah dilakukan dalam nominal ratusan atau ribuan.

Saya hanya bisa menemukan satu argumen-kontra untuk hal ini: bahwa peluncuran rupiah yang baru akan membingungkan dan mencemaskan warga masyarakat. Sudahlah pasti, jika proses transisi tak ditangani secara hati-hati, hal itu akan tercipta. Tapi orang tidaklah bodoh. Jika pejabat tinggi pemerintah berhasil menerangkan alasan dari perubahan ini secara hati-hati dan sabar, saya kira masyarakat akan memahaminya. Mungkin aspek yang paling penting untuk ditekankan ke masyarakat adalah bahwa rupiah yang lama akan dapat ditukarkan untuk rupiah yang baru di nilai, katakanlah, 1.000 untuk 1, untuk jangka waktu yang cukup panjang. Mungkin juga bagus untuk merilis uang sen yang baru secara bersamaan.

Menarik untuk melihat apakah otoritas moniter dan pemerintah akan mengadopsi saran bermanfaat ini secara serius. Akankah Bank Indonesia sebagai lembaga yang memonopoli suplai mata uang mengakui fakta bahwa masyarakat kini hampir tidak lagi memiliki permintaan untuk rupiah dengan nominal rendah, dan secara mubasir harus dibebani untuk berurusan dengan uang kertas rupiah dengan denominasi besar bahkan untuk transaksi berskala kecil?
sumber : Vivanews.com



Related posts :


0 komentar:


Post a Comment

 

Followers